Sejarah Desa Mororejo
Dari Majapahit Hingga NKRI

Tengger

Tengger adalah suku yang hidup di daerah pegunungan Tengger Jawa Timur yakni berada di daerah wisata Bromo Tengger Semeru. Suku Tengger memiliki keanekaragaman tradisi yang unik dan masih bertahan hinga saat ini sebagai salah satu budaya bangsa. Orang Tengger kaya akan upacara adat tetapi hampir tidak memiliki produk kesenian. Upacara adat yang sampai saat ini masih diselenggarakan di wilayah Tengger antara lain adalah Kasada, Karo, Unan-unan, Entas-entas, Pujan Mubeng, Tugel Kuncung, Barikan dan Liliwet.

Sejarah Tengger

Ditinjau dari arti etimilogisnya Tengger  berarti “berdiri tegak”, diam tanpa begerak. Sedangkan bila dikaitkan dengan kepercayaan yang hidup dalam masyarakatnya, Tengger diartikan sebagai  tenggering budhi luhur ,Tengger  berarti tanda atau ciri yang memberikan sifat khusus pada sesuatu. Dengan kata lain Tengger dapat berarti “sifat-sifat budi pekerti luhur”. Arti yang kedua adalah “daerah pegunungan”, yang memang tepat dengan keadaan sebenarnya bahwa masyarakat Tengger berada pada lereng-lereng pegunungan Tengger dan Semeru.

Kata Tengger juga mengisahkan tentang cerita suami istri yang bernama Rara Anteng dan Jaka Seger, yang menjadi legenda dalam masyarakat Tengger. Diceritakan bahwa masyarakat suku Tengger adalah masyarakat yang taat dan patuh pada pemimpin, dan juga taat melaksanakan acara, adat, dan hari raya besar. Masyarakat suku Tengger juga sangat baik antara satu sama yang lain. Antar tetangga saling menolong dan membantu bagi mereka yang lagi kesusahan, hal ini terwujud dalam beberapa tingkah laku seperti dalam kegiatan bercocok tanam, hajatan, mendirikan rumah, mengatasi bencana.

Masyarakat Tengger beragama Hindu-Budha yang terpadu dengan adat kepercayaan tradisional. Masyarakat suku Tengger hidup dalam kedamaian, itu karena mereka masih bisa menjaga kesederhanaan, adat tradisional pun masih mereka jaga dan pelihara. Namun ada beberapa tahapan sejarah masyarkat suku Tengger:

  • Tengger pada zaman Majapahit

Sejak awal zaman kerajaan hindu-budha di Indonesia pegunungan Tengger diakui sebagai tempat suci. Bukti ini bisa dipelajari pada batu prasasti yang ditemukan, dan prasasti itu berasal dari abad ke-10. Prasasti itu menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandit, terletak di pegunungan Tengger adalah tempat yang disebut sebgai tempat yang suci karena ditempati oleh hulun (abdi)  yakni ahli spiritual yang patuh dari sang Hyang Windhi Wasa.

Masyarakat Tengger masih berhubungan dengan Hindu dan kerajaan Majapahit. Hal ini karena pada gunung Bromo ada keterkaitan dengan Brahma, yang dimana Gunung Bromo dijadikan tempat pemujaan terhadap dewa Brahma. Sementara hubungan dengan Majapahit adalah karena adanya alat-alat yang berada pada suku Tengger yang biasa dipakai pada saat upacara adalah alat yang juga ada pada kerajaan Majaphit terdahulu. Dengan kedatangan agama Islam di pulau Jawa pada 1426 M, penduduk Hindu terdesak dari daerah pantai yang akhirnya mereka menetap di daerah yang sulit untuk dijangkau oleh pendatang, yakni di daerah Tengger. Disana mereka memberntuk kelompok tersendiri yang hingga kini masih dikenal sebagai tiang Tengger.

  • Tengger pada abat ke-16 sampai ke-18

Setelah kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan kemudian ada kerajaan Mataram yang mulai melakukan pelebaran kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yang mana melewati pegunungan Tengger dan merusakkan keraton dan mengusir penghuninya. Akan tetapi masyarakat Tengger tetap mempertahankan identitasnya dan berusaha melawan pasukan Sultan Agung. Pada tahun 1680 M, sewaktu Trunajaya gagal memberontak melawan Mataram dan pasukan Belanda, yang kemudian dibantu oleh masyarakat Tengger sewaktu dia melarikan diri ke Timur. Perlawanan suku Tengger sangat amatlah kuat dan sulit dikuasai, namun pada akhirnya Belanda lah yang berhasil menguasai perlawanan suku Tengger. Agama yang dianut oleh Suku Tengger adalah hasil perpaduan Hindu Waisya dengan Hindu Parsi. Menurut R.P. Suyono Pada abad ke-16 para pemuja Brahma di Tengger kedatangan pelarian dari orang Hindu Parsi.

  • Tengger pada abad ke 19

Setelah mengalami beberapa pengusikan dari orang-orang luar hingga akhir abad 18, para pejabat Belanda masuk dan mengamati kehidupan masyarakat Tengger dan menemukan bahwa disana terhindar dari konflik, dan bebas dari kejahatan, dan menemukan bahwa masyarakat Tengger adalah masyarakat yang bersifat jujur dan lurus hati. Masyarkat Tengger pemeluk agama Hindu yang memuja Brahma, Siwa, dan Wisnu. Pada abad ke 19 kelebihan masyarakat Tengger mengakibatkan orang-orang luar tertarik dengan tempat mereka dan mulai berdatangan dan bertempat disana. Ada juga sebagian pasukan Diponegoro yang gagal melawan Belanda dan lari ke timur mereka bertempat tinggal di Tengger.

  • Tengger pada tahun 1945

Pada tahun ini tidak jelas apa peran masyarakat Tengger dalam kemerdekaan Indonesia. Nancy menjelaskan bahwa menjelang tahun 1945 rakyat Tengger mulai menggali lagi identitasnya kembali dengan mempelajari sejarah nenek moyangnya.

   Sejarah Desa Mororejo tidak terlepas dari sejarah Masyarakat Tengger di Kabupaten Pasuruan. Desa Mororejo berdiri sekitar tahun 1860an. Nama Mororejo dalam Bahasa Jawa terdiri dari dua kata yaitu Moro dan Rejo yang artinya Moro berarti datang sedangkan Rejo berarti Makmur sehingga dengan nama Mororejo para pendiri berharap kemakmuran akan datang dan selalu menaungi bagi warga yang tinggal di desa tersebut.

   Akan tetapi dalam kurun waktu sepuluh tahun di Desa Mororejo belum ada seseorang yang memimpin desa, seiring berjalannya kehidupan sosial dan tatanan kemasyarakatan sekitar tahun 1870 masyarakat desa yang telah menaruh kepercayaan penuh kepada salah seorang warga yang bernama Pak Sem untuk kemudian diangkat menjadi pemimpin desa dengan istilah Lurah.

   Sejak berdiri pemerintahan desa Mororejo telah mengalami masa kepemimpinan kepala desa dari periode ke periode yang melalui proses demokratis. Khusus untuk pemilihan kepala desa Mororejo, sebagaimana tradisi kepala desa di Jawa, biasanya para peserta (kandidat) nya adalah mereka yang secara tradisi memiliki hubungan dengan elit kepala desa yang lama. Hal ini tidak terlepas dari anggapan masyarakat banyak di desa-desa bahwa jabatan Kepala Desa adalah jabatan garis tangan keluarga yang pernah menjadi fenomena inilah yang biasa disebut dengan istilah Pulung.

    Jabatan kepala desa merupakan jabatan yang tidak serta merta dapat diwariskan kepada anak cucu. Beliau dipilih karena kecerdasan, etos kerja, kejujuran dan kedekatannya dengan warga desa. Walaupun pola kepemimpinan ada di Kepala Desa namun mekanisme pengambilan keputusan selalu melibatkan masyarakat baik lewat lembaga resmi desa seperti Badan Perwakilan Desa maupun lewat masyarakat langsung.